Mandalawangi Keramahanmu menghilangkan segala penat yang kubawa Dinginmu dapat mencairkan kebekuan di hatiku Heningmu dapat menyemarakkan kesunyian di jiwaku Mandalawangi Di antara rumput-rumput yang tumbuh di lembahmu Di antara keabadian tumbuhnya Edelweis di dirimu Di antara titik-titik embun pagi yang menyapamu
MANDALAWANGI – PANGRANGO Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu aku datang kembali ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada hutanmu adalah misteri segala cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali Dan bicara padaku tentang kehampaan semua “hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar terimalah dan hadapilah dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara aku terima ini semua melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu aku cinta padamu Pangrango karena aku cinta pada keberanian hidup Jakarta 19-7-1966 ==================================================== “Di sana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie SEBUAH TANYA “akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui apakah kau masih berbicara selembut dahulu? memintaku minum susu dan tidur yang lelap? sambil membenarkan letak leher kemejaku” kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin “apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat” lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita “apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta?” haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu “manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru” Selasa, 1 April 1969 ==================================================== PESAN Hari ini aku lihat kembali Wajah-wajah halus yang keras Yang berbicara tentang kemerdekaaan Dan demokrasi Dan bercita-cita Menggulingkan tiran Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi Kawan-kawan Kuberikan padamu cintaku Dan maukah kau berjabat tangan Selalu dalam hidup ini? Harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973 ==================================================== ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra tapi aku ingin mati di sisimu sayangku setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu mari, sini sayangku kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku tegakklah ke langit atau awan mendung kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takkan pernah kehilangan apa-apa” Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969
Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin) "Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat"
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah puisi Soe Hok-Gie, berapa puisi yang sudah dipublikasikan, belum dipublikasikan, atau apakah puisi hanya menjadi selingan dari catatan hariannya. Ada kabar menyebutkan bahwa sajak dan puisi karya Soe Hok-Gie jumlahnya mencapai puluhan judul dan ada kabar yang menyebutkan pula sajak-sajak tersebut kini dalam proses penyusunan untuk dijadikan sebuah buku kecil. Hal ini wajar karena Soe Hok-Gie memang akrab dengan berbagai penyair seperti Taufik Ismail, WS Rendra maupun Satyagraha Hoerip. Di sini kami hanya memberikan cuplikan beberapa judul puisi Soe Hok-Gie, sebagai berikut 1. Kepada Pejuang-Pejuang Lama Soe Hok-Gie, 1965 Kepada Pejuang-Pejuang Lama Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. Dan kita, para pejuang lama Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang padahal pelaut-pelaut lain takut kau tentu masih ingat suara-suara di belakang… “mereka gila” Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita Mungkin kita ragu sebentar ya, kita yang dahulu membina Kapal tua ini Di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana… Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo. Laut masih luas. dan bagi pemberontak-pemberontak Tak ada tempat di kapal ini”. *teks sudah disesuaikan dengan EYD 2. Sebuah Tanya Soe Hok-Gie, 1 April 1969 Sebuah Tanya Akhirnya semua akan tiba Pada suatu hari yang biasa Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui Apakah kau masih berbicara selembut dahulu Memintaku minum susu dan tidur yang lelap? Sambil membenarkan letak leher kemejaku kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendalawangi kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya Kau dan aku berbicara Tanpa kata, tanpa suara Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita Apakah kau masih akan berkata Kudengar derap jantungmu Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta hari pun menjadi malam Kulihat semuanya menjadi muram Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara Dalam bahasa yang kita tidak mengerti Seperti kabut pagi itu Manisku, aku akan jalan terus Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru. 3. Tentang Kemerdekaan Tentang Kemerdekaan Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan yang tak pernah berakhir, kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah dan adik-adikku di belakang tapi satu tugas kita semua. menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis ….. Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar Kita adalah alat dari derap kemajuan semua; Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup Seperti juga perjalanan di sisi penjara Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita Adalah manusia merdeka Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas. Soe Hok-Gie 4. Mandalawangi-Pangrango Mandalawangi-Pangrango Sendja ini, ketika matahari turun Ke dalam djurang-djurang mu Aku datang kembali ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu dan dalam dinginnya walaupun setiap orang berbitjara tentang manfaat dan guna aku bicara padamu tentang tjinta dan keindahan dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku aku tjinta padamu. Pangrango jang dingin dan sepi sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada hutanmu adalah misteri segala tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta malam itu ketika dingin dan kebisuan menjelimuti Mandalawangi kau datang kembali dan bitjara padaku tentang kehampaan semua “hidup adalah soal keberanian. Menghadapi jang tanda tanja Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar Terimalah, dan hadapilah” Dan antara ransel-ransel kosong Dan api unggun jang membara Aku terima itu semua Melampaui batas-batas hutanmu. Melampaui batas-batas djurangmu Aku tjinta padamu Pangrango Karena aku tjinta pada keberanian hidup. 5. Pesan Nukilan penting dalam puisi Soe Hok-Gie dari Sinar Harapan, 18 Agustus 1973, yang berjudul Pesan’, sebagai berikut. Pesan Hari aku lihat kembali Wajah-wajah halus yang keras Yang berbicara tentang kemerdekaan Dan demokrasi Dan bercita-cita Menggulingkan tiran Aku mengenali mereka Yang tanpa tentara Mau berperang melawan diktaktor Dan yang tanpa uang Mau memberantas korupsi Kawan-kawan Kuberikan padamu cintaku Dan maukah kau berjabat tangan Selalu dalam hidup ini? 6. Hidup Soe Hok-Gie, 5 Januari 1962 Hidup Terasa pendeknya hidup memandang sejarah Tapi terasa panjangnya karena derita Maut, tempat penghentian terakhir Nikmat datangnya dan selalu diberi salam. 7. Puisi Soe Hok-Gie Lainnya Dan beberapa puisi Soe Hok-Gie lainnya yang tak diberi judul yang bisa kita lihat dalam buku catatan hariannya atau dalam beberapa buku yang mengupas Soe Hok-Gie. “Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai.” “Hidup adalah soal keberanian, menghadapi jang tanda tanja, tanpa bisa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar, terimalah dan hadapilah” Soe Hok-Gie
PUISIPUISI SOE HOK GIE - ngopilu. MANDALAWANGI PANGRANGO. Sendja ini, ketika matahari turun kedalam djurang2mu
Gambar7028Apakah Anda mencari gambar tentang Puisi Soe Hok Gie? Terdapat 52 Koleksi Gambar berkaitan dengan Puisi Soe Hok Gie, File yang di unggah terdiri dari berbagai macam ukuran dan cocok digunakan untuk Desktop PC, Tablet, Ipad, Iphone, Android dan Lainnya. Silahkan lihat koleksi gambar lainnya dibawah ini untuk menemukan gambar yang sesuai dengan kebutuhan anda. Lisensi GambarGambar bebas untuk digunakan digunakan secara komersil dan diperlukan atribusi dan retribusi.
Kabut tipis pun turun pelan pelan di Lembah Kasih, Lembah Mandalawangi Kau dan aku tegak berdiri Melihat hutan-hutan yang menjadi suram Meresapi belaian angin yang menjadi dingin) Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu Ketika kudekap Kau dekaplah lebih mesra, Lebih dekat (lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmuaku datang kembalike dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmuWalaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan gunaaku bicara padamu tentang cinta dan keindahandan aku terima kau dalam keberadaanmuseperti kau terima dakuAku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepisungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiadahutanmu adalah misteri segalacintamu dan cintaku adalah kebisuan semestaMalam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangikau datang kembalidan bicara padaku tentang kehampaan semua“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya“tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawarterimalah dan hadapilahDan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membaraaku terima ini semuamelampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmuAku cinta padamu Pangrangokarena aku cinta pada keberanian hidupJakarta 19-7-1966
Siapasih yang ga kenal soe hok gie? Soe hok gie menamatkan pendidikan sma di kolese kanisius. Kata Kata Soe Hok Gie Tentang Alam crystallovescountry Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. Soe hok gie puisi. Sebab menurutnya, semakin tua semakin banyak dosa yang kita perbuat. Ini adalah puisi terakhir karya soe hok gie.
Almarhum Rudy Badil pernah bercerita. Suatu hari Soe Hok Gie mengajak seorang adik kelas yang dia pacari untuk berkemah di Mandalawangi sebuah lembah di bawah puncak Gunung Pangrango bersama kawan-kawan Soe lain-nya. Sebagai sahabat, Rudy tentu saja gembira. Dia kemudian “mengondisikan” agar Soe bisa terus berdua-dua-an dengan sang kekasihnya tersebut, termasuk mengupayakan agar mereka berada dalam satu tenda saat malam tiba. Semua kawan-kawan Soe mendukung ide Rudy itu. Paginya Rudy langsung menarik Soe Hok Gie ke tempat agak sepi. Sambil tersenyum nakal, Rudy menanyakan apa yang dilakukan Soe bersama sang pacar selama tidur setenda tadi malam. Soe menatap Rudy sembari tersenyum kecil. “Enggak ada, gue enggak melakukan apapun selain tidur…” jawab Soe. “Jadi lu kagak apa-apain dia? Lu cium , gitu?” tanya Rudy dalam nada kaget. “Ya enggaklah, gue aja tidur-nya agak jauh-jauhan dari dia…” Pada akhirnya Rudy mafhum, Soe Hok Gie bukanlah lelaki kebanyakan. Kendati dia seorang yang sangat galak saat mengeritik kekuasaan dan nekat ketika menjadi seorang demonstran dia pernah membaringkan diri di hadapan tank baja yang sedang melaju dalam suatu demonstrasi menentang Presiden Sukarno, namun mengenai cinta, dia benar-benar seorang pemalu dan agak puritan. Rudy yakin Soe Hok Gie memang mencintai perempuan itu. Begitu juga sebaliknya. Namun bagi lelaki Tinghoa tersebut, cinta bukanlah soal saling membutuhkan namun lebih dari itu ada saling pengertian, tanggungjawab dan kemerdekaan menyatakan keinginan, termasuk keinginan untuk mencintai itu sendiri. Soal terakhir itu memang menjadi masalah buat Soe, mengingat hubungan mereka yang tak direstui orangtua sang gadis. “Mereka selalu dihalangi untuk bertemu…” kenang Arief Budiman kakak Soe Hok Gie dalam kata pengantar buku Catatan Seorang Demosntran catatan harian Soe Hok Gie. Soe bukannya tidak berupaya meyakinkan orangtua sang gadis. Menurut Arief, sudah beberapa kali Soe bicara dengan ayahnya, seorang pengusaha kaya di Jakarta. Sebagai seorang yang tidak setuju dengan berbagai ketidakberesan di Indonesia saat itu, ayah sang gadis menyatakan kekagumannya kepada Soe Hok Gie yang selalu berani melakukan kritik di koran-koran terhadap para pejabat yang dianggap tidak benar. “Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar resikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya…” curhat Soe kepada Arief. Keresahan Soe semakin bertambah saat dia sendiri tak melihat ketegasan hati dari sang kekasih. Mungkin karena usianya masih muda dan sudah terbiasa hidup nyaman, sang kekasih tak memiliki keberanian untuk melawan pendirian orangtuanya itu. “Saya katakan bahwa soal ini soal berat, karena ia harus bertempur sendirian di rumah. Kalau ia tak berani bertempur untuk hal tadi maka soalnya menjadi sulit. I can only give my support. Kemungkinan kedua adalah kita memutuskan hubungan sebelum semuanya berkembang menjadi terlalu jauh…” tulis Soe Hok Gie dalam catatan hariannya bertanggal 4 April 1969. Takdir memutuskan keduanya memilih mengkandaskan hubungan cinta mereka. Karena merasa sudah terlambat untuk menjadi “dua sahabat”, keduanya lantas sepakat untuk saling menjauhkan diri. “Si Gie pastinya sedih. Walau dia tak ngomong apa-apa ke gue, tapi gue tau pada hari-hari itu dia sedih,” kenang Rudy. Soe Hok Gie bisa jadi tak memiliki kawan yang banyak untuk dia curhati. Namun dia memiliki buku harian yang senantiasa “setia mendengar keluhannya”. Pada awal April 1969, sejatinya Soe telah menulis Sebuah Tanya, satu puisi yang menyatakan perasaan terakhir-nya untuk sang kekasih. akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. apakah kau masih berbicara selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yang lelap? sambil membenarkan letak leher kemejaku. kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi. kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin apakah kau masih membelaiku selembut dahulu ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat. lampu-lampu berkerlipan di Jakarta yang sepi kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita apakah kau masih akan berkata kudengar derap jantungmu kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti seperti kabut pagi itu manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru. “Soal ini telah lama saya sadari. Tetapi pada waktu itu datang sebagai kenyataan, rasanya pedih sekali. Tetapi saya tak menjadi emosional. Saya pikir, saya jauh lebih tenang dan dewasa,” tulis Soe dalam catatan hariannya bertanggal 5-6 April 1969. Sejarah mencatat, keduanya memang tak pernah tersatukan. Soe gugur di Puncak Mahameru pada 16 Desember 1969 sedangkan sang kekasih beberapa tahun kemudian menikah dengan lelaki lain dan tinggal di luar negeri hingga kini.
Sebuahpuisi tentang Lembah Kasih, Lembah Mandalawangi Soe Hok Gie (duduk di altar) bersama teman-temannya Puncak Gunung Pangrango. (sumber: google.com) Mandalawangi-Pangrango Senja ini, ketika matahari turun Ke dalam jurang-jurangmu Aku datang kembali Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu Dan dalam dinginmu
SoeHok Gie adalah sosok inspirator bagi kaula muda, bukan hanya terkenal bagi kalangan pendaki tetapi Soe Hok Gie juga terkenal dengan puisi-puisinya yang mengkritik pemerintahan orde lama. Gie lahir di Jakarta 17 Desember 1942 merupakan anak ke 4 dari 5 bersaudara. Terlahir dari keluarga penulis membuat Gie begitu dekat dengan sastra.
puisiRangga dan Cinta; Ringkasan Cerita Ada Apa Dengan Cinta ( AADC ) Sinopsis Film "GIE" puisi-puisi Soe Hok Gie; Resensi Novel Ayat-Ayat Cinta; RESENSI NOVEL ANGKATAN 20-AN : AZAB DAN SENGSARA; Resensi Buku The Mark Of Athena; 7 penulis novel muda indonesia; Novel Dan Buku Best Seller Gramedia Juni 201; Biografi Ahmad Fuadi; BIOGRAFI PENULIS
Puisi"Kepada Pejuang-Pejuang Lama" dibuat pada tahun 1965, kalaupun Soe Hok Gie harus dimasukkan kedalam periodisasi Sejarah Sastra Indonesia, ia masuk dalam Generasi Kisah di mana nama itu diambil dari majalah Kisah. Gie hanyalah mahasiswa lulusan Prodi Sejarah dan arsitektur demonstrasi yang suka akan sastra, tetapi bukan sastrawan hanya
. 1i5v5z0h6s.pages.dev/4031i5v5z0h6s.pages.dev/3701i5v5z0h6s.pages.dev/701i5v5z0h6s.pages.dev/61i5v5z0h6s.pages.dev/1151i5v5z0h6s.pages.dev/3221i5v5z0h6s.pages.dev/4161i5v5z0h6s.pages.dev/369
puisi soe hok gie mandalawangi